Blog

Stress, migraine and motion blur with a business man in a meeting feeling frustrated, tired or overworked. Mental health, anxiety and headache with an exhausted male employee suffering from fatigue

<p>Jika teman-teman mendengar kata stres apa yang pertama kali muncul di pikiran kalian? Pasti kebanyakan dari kalian akan berpikir tentang hal negatif kan? Eit! Ternyata stres tidak selalu tentang hal negatif loh! Ternyata ada juga stres yang positif. Stres? Positif? Bagaimana bisa? Mari kita sama-sama belajar di sini!</p><figure id="figure-d3c8qv2ykim3v9qvtv"><img id="d3c8qv2ykim3v9qvtv" src="https://cdn.durable.co/blocks/3113FuSpjO6OqzRVQb05hGZ9rS9I39lb3EgYM4V82Wus49QuAcAKsXp0i3NHV2vH.png" alt="" title="" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionx="undefined" data-positiony="undefined" data-fullwidth="false" data-mce-src="https://cdn.durable.co/blocks/3113FuSpjO6OqzRVQb05hGZ9rS9I39lb3EgYM4V82Wus49QuAcAKsXp0i3NHV2vH.png" data-mce-style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;"></figure><h3>PENYEBAB STRES (STRESSOR)</h3><p>Apakah kalian sudah tau apa itu stres? Coba kalian jelaskan? Pasti akan susah untuk menggambarkan apa itu stres hanya dari pengamatan dan pengalaman tanpa tau apa pengertian dari stres tersebut. Jadi, stres adalah respons alami tubuh terhadap tekanan atau tuntutan, tekanan dan tuntutan inilah yang dinamakan stressor yaitu penyebab stres. Stres juga bisa diibaratkan seperti alarm tubuh yang berbunyi ketika kita menghadapi situasi yang sulit, menantang, atau membuat kita merasa terancam. Nah! Ketika teman-teman berada di situasi yang disebutkan tersebut (stressor) tentu saja tubuh kalian mengalami reaksi tertentu, dan reaksi itu bisa menghasilkan stres negatif (distress) atau stres positif (eustress). Mari kita bahas satu-persatu tentang kedua hal tersebut!</p><h3>STRES NEGATIF (DISTRESS)</h3><p>Stres yang selama ini kalian presepsikan sesuatu hal yang buruk itu namanya adalah stres negatif yaitu Distress, jadi jika tekanan dan hal penyebab stress (stressor) membuat mental kalian terganggu seperti tidak merasa nyaman, tertekan dan cemas. Maupun mampu mempengaruhi kesehatan fisik kalian seperti Sakit kepala, gangguan tidur, nyeri otot, gangguan pencernaan, hingga parahnya bisa kelelahan kronis. Maka hal itulah yang dinamakan Distress.&nbsp;</p><p>Jika distress terjadi pada teman-teman sekalian, kalian bisa mencari alternatif-alternatif untuk mengatasi hal tersebut seperti mencari dukungan pada teman, sahabat, pacar, orang tua dan orang terdekat. Kemudian mengelola waktu, jangan terlalu banyak habiskan waktu dengan hal yang akan membuat pikiran kalian penuh, luangkan waktu juga untuk istirahat, bersantai, olahraga, kemudian ubah sudut pandang tentang masalah tersebut, relaksasi, beribadah, ikhlas dan menerima.</p><p>Teman-teman bisa mencoba salah-satu atau beberapa cara-cara di atas untuk mengatasi distress, jika hal-hal tersebut sudah dilakukan dan distress tetap sulit diatasi maka segerahlah ke ahlinya kalian tidak sendiri.</p><h3>STRES POSITIF (EUSTRESS)</h3><p>Berbeda dengan distress ketika stressor memicu stress muncul akan terjadi hal yang negatif, eustress adalah stres yang justru merasa semakin bersemangat dan tertantang jika adanya tantangan. Jadi pola pikir orang yang mengubah stressor menjadi eustress ini adalah tekanan adalah tantangan, jadi jika ada tekanan dia sikat, ada tekanan gass, hajar. Karena mereka bukannya mengubah tekanan itu menjadi hal negatif tapi malah hal yang sebaliknya.</p><p>Tapi teman-teman, walaupun si ‘eustress’ ini sifatnya positif dan baik hati, tapi jika tidak dikelola dengan baik sama maka ‘eustress’ ini bisa menjadi menjadi ‘distress’ yaitu si negatif dan jahat. Makanya, sangat penting untuk kita menyeimbangkan perasaan tertantang dan semangat ini dengan istirahat.<br></p><figure id="figure-ji6ij65gsem3v9thjm"><img id="ji6ij65gsem3v9thjm" src="https://media.gettyimages.com/id/1513072392/photo/hands-holding-paper-head-human-brain-with-flowers-self-care-and-mental-health-concept.jpg?b=1&s=2048x2048&w=0&k=20&c=-Xnw8rPlBPqziSbEIIW1EEN_fchovmZ8FiKxn2TJfng=" alt="Hands holding paper head, human brain with flowers, self care and mental health concept, positive thinking, creative mind" title="Hands holding paper head, human brain with flowers, self care and mental health concept, positive thinking, creative mind" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionX="undefined" data-positionY="undefined" data-fullWidth="false"/></figure><p>Diharapkan setelah teman-teman membaca dan memahami apa itu stres, stressor, distress dan eustress teman-teman dapat lebih mudah memahami tentang perasaan, permasalahan dan bahkan melihat sesuatu permasalah hanya dari sudut negatifnya saja. Semoga teman-teman juga bisa mengatasi permasalahan tentang stres negatif dan bagaimana caranya melihat tekanan menjadi sesuatu hal menantang sehingga tidak menyebabkan lagi permasalahan-permasalahan yang mengganggu.</p><p><br></p>

TERNYATA STRES TIDAK SELALU MERUPAKAN HAL YANG NEGATIF LOH!

Upset and tired boy teenager sitting on the floor keeps hand to cheek looking thoughtfully and hopeless. Stressed student guy feels emotional discomfort, anxiety and mental health problems.

<p>Kini, kesehatan mental dan emosional menjadi kondisi tubuh yang turut diperhatikan oleh banyak orang. Salah satu istilah yang mungkin sudah anda dengar adalah “quarter life crisis”. Quarter life crisis adalah masa dimana seseorang meraskan kecemasan terhadap masa depannya.&nbsp;</p><p>Masa quarter life crisis dapat menimbulkan rasa stres bagi beberapa orang. Oleh sebab itu, penting untuk menghadapi kondisi ini dengan menciptakan pola pikir positif dan terus melakukan sesuatu yang bermakna.&nbsp;</p><h2>Apa Itu Quarter Life Crisis?</h2><figure id="figure-rwidp7099em3v9hhax"><img id="rwidp7099em3v9hhax" src="https://images.unsplash.com/photo-1614907884263-9409f5a11875?crop=entropy&cs=tinysrgb&fit=max&fm=jpg&ixid=M3wyNjI5NjF8MHwxfHNlYXJjaHw0fHxwc3ljaG9sb2dpc3R8ZW58MHx8fHwxNzMyNDMyNDQwfDA&ixlib=rb-4.0.3&q=80&w=1080" alt="gold and silver pocket watch" title="gold and silver pocket watch" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: undefined undefined;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionX="undefined" data-positionY="undefined" data-fullWidth="false"/></figure><p>Dalam bahasa Indonesia, quarter life crisis artinya krisis seperempat abad. Jadi, quarter life crisis adalah fase dimana seseorang pada usia sekitar 18 sampai dengan 30 tahun merasa khawatir, bingung, tidak memiliki arah karena adanya ketidakpastian dalam kelanjutan hidupnya dan overthinking akan masa depan.</p><p>Biasanya, seseorang yang mengalami quarter life crisis akan mencemaskan banyak hal seperti karir, percintaan, kehidupan sosial dan lain sebagainya. Karena itulah fase quarter life crisis terkadang membuat seseorang merasa tidak memiliki tujuan hidup atau bahkan hingga mempertanyakan keberadaan sebagai seorang manusia.</p><h3>Mengidentifikasi Kebingungan</h3><p>Di fase quarter life crisis, mungkin akan muncul pertanyaan, misalnya dalam karir, “Apakah saya melakukan pekerjaan yang benar-benar saya sukai?&nbsp;Rasanya kok bosan banget ya ngerjain hal yang itu-itu aja?” Pertanyaan semacam ini mungkin terus menghantui individu dalam sehari-hari.&nbsp;</p><p>Namun, Ketika kuliah banyak pertanyaan kapan lulus, lalu berlanjut ke pertanyaan kerja di mana. Selepas kuliah, berbagai pilihan dapat kita temukan dengan mudah; entah akan bekerja, melanjutkan kuliah, berwirausaha, atau menikah. Mungkin akan ada perasaan cemas, insecure, atau overthinking. Misalnya, seseorang ingin melanjutkan kuliah S2 agar lebih menguasai bidang yang akan digeluti.&nbsp;</p><p>Namun demikian, setelah diskusi dengan orangtua dan keluarga, kondisi finansial belum memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan saat ini sehingga seseorang tersebut berpikiran untuk bekerja terlebih dahulu yang perjuangan untuk dapat kerjanya tidak mudah.&nbsp;</p><p>Tapi semakin dewasa, Anda berpikiran bahwa hidup perlu realistis. Tuntutan finansial yang kamu hadapi sekarang ternyata mengubah perspektifmu sehingga pekerjaan yang bermakna tadi berubah menjadi mimpi saja. Selain itu, tidak sedikit juga di antara kita yang hidup untuk memenuhi ekspektasi diri dan ekspektasi orang lain. Hal-hal itulah yang terkadang mungkin menjadi dilema kamu untuk mengambil keputusan dalam hidup.&nbsp;</p><p>Namun, ekspektasi orangtua atau pun orang-orang yang berada dalam inner circle adalah menikah dengan seorang dengan suku yang sama, bekerja dan mandiri secara finansial, serta tinggal di kota besar bersama dengan keluarga besar saat ini. Krisis ini dapat dipengaruhi oleh faktor internal, yang berawal dari pemikiran diri sendiri mengenai.</p><h3>Menemukan Peluang Dibalik Quarter Life Crisis</h3><p>Melewati periode Quarter Life Crisis bisa menjadi tantangan yang besar, tetapi dengan beberapa kiat dan pendekatan yang tepat, Anda bisa mengelolanya dengan lebih baik menjadi kesempatan yang baik. Berikut adalah beberapa tips untuk sukses melewati Quarter Life Crisis:</p><h3>1. Refleksi Diri dan Pemahaman Nilai</h3><p>Menghabiskan waktu untuk merenung tentang nilai-nilai, minat, dan tujuan hidup dapat membantu individu menemukan arah yang jelas dan bermakna. Proses ini melibatkan penilaian diri yang mendalam terhadap aspirasi pribadi dan nilai-nilai yang dipegang teguh.</p><h3>2. Terima Perubahan sebagai Bagian dari Proses</h3><p>Menerima bahwa perubahan adalah bagian alami dari kehidupan dan tidak semua akan berjalan sesuai rencana. Jadikan setiap pengalaman sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.</p><h3>3. Tetapkan Tujuan yang Realistis dan Spesifik</h3><p>Tentukan tujuan-tujuan yang dapat diukur dan spesifik untuk membantu Anda merasa terarah dan mendapatkan pencapaian yang memuaskan.</p><h3>4. Pengembangan Keterampilan dan Keahlian</h3><p>Meningkatkan kompetensi melalui pendidikan lanjutan, pelatihan, atau pengalaman kerja dapat membuka peluang baru dan meningkatkan kepercayaan diri. Pembelajaran kontinu dan adaptasi terhadap tuntutan pasar kerja modern menjadi kunci untuk menghadapi tantangan masa depan dengan lebih siap.</p><h3>5. Jalin Hubungan Sosial yang Positif</h3><p>Jaga hubungan dengan teman-teman dan keluarga yang mendukung. Membangun jaringan sosial yang kuat dapat memberikan dukungan emosional dan praktis selama periode sulit ini.</p><h3>6. Cari Bantuan Profesional Jika Diperlukan</h3><p>Jangan ragu untuk mencari bantuan dari profesional jika Anda merasa kesulitan mengatasi perasaan cemas atau depresi yang serius. Terapis atau konselor dapat membantu Anda menemukan strategi yang efektif untuk mengelola stres dan mengatasi krisis ini.</p><h3>7. Jaga Kesehatan Mental dan Fisik</h3><p>Berolahraga secara teratur, makan makanan sehat, dan pastikan Anda cukup istirahat. Keseimbangan hidup yang sehat antara tubuh dan pikiran sangat penting untuk mengatasi stres dan menjaga kesejahteraan secara keseluruhan.</p><h3>8. Berikan Diri Anda Waktu untuk Bertumbuh</h3><p>Ingatlah bahwa perjalanan menuju kedewasaan dan pencapaian tidaklah instan. Berikan diri Anda kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan berkembang seiring waktu.</p><h3>9. Manajemen Emosi dan Kesehatan Mental</h3><p>Mengembangkan strategi untuk mengelola stres, seperti olahraga teratur, meditasi, atau konseling, penting untuk menjaga kesehatan mental selama masa transisi ini. Memahami peran emosi dalam pengambilan keputusan dan interaksi sosial membantu individu membangun keseimbangan yang stabil dalam kehidupan sehari-hari.</p><h3>10. Dukungan Sosial</h3><p>Membangun dan menjaga hubungan yang positif dengan teman, keluarga, dan mentor dapat memberikan dukungan emosional dan praktis yang sangat&nbsp;dibutuhkan. Keterlibatan dalam komunitas yang mempromosikan pertumbuhan pribadi dan saling mendukung memperluas jaringan sosial dan memperkaya pengalaman hidup.</p><h2>Kesimpulan</h2><p>Quarter life crisis adalah fase yang dialami oleh banyak orang muda ketika mereka mulai mempertanyakan pilihan hidup, karier, dan hubungan. Gejala seperti kebingungan, kecemasan, dan ketidakpuasan sering muncul akibat tekanan sosial dan ekspektasi diri. Namun, dengan pendekatan yang tepat, fase ini dapat diubah menjadi peluang.</p><p>Pertama, mengenali perasaan tersebut sebagai bagian normal dari perjalanan hidup memungkinkan individu untuk lebih terbuka terhadap perubahan. Ini dapat memicu eksplorasi diri yang lebih dalam, di mana mereka dapat mengevaluasi nilai-nilai dan tujuan hidup mereka. Selanjutnya, mengembangkan keterampilan baru dan mencari pengalaman yang beragam dapat membantu memperluas wawasan dan meningkatkan rasa percaya diri.</p><p>Akhirnya, dengan menciptakan jaringan dukungan yang kuat, individu dapat berbagi pengalaman dan mendapatkan perspektif yang berbeda. Transformasi kebingungan menjadi peluang ini dapat menghasilkan penemuan diri yang lebih mendalam dan membuka jalan menuju tujuan hidup yang lebih memuaskan.</p>

QUARTER LIFE CRISIS: Mengubah Kebingungan Menjadi Peluang

<p>Kasus Menendez Brothers adalah salah satu kasus kriminal yang paling kontroversial dan menarik perhatian publik di Amerika Serikat pada akhir 1980-an. Saudara kandung, Lyle dan Erik Menendez, menjadi terkenal karena mereka diadili atas pembunuhan brutal terhadap orang tua mereka di Beverly Hills pada 20 Agustus 1989. Kasus ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat da para ahli hukum, terutama terkait motif di balik pembunuhan tersebut dan penggunaan pembelaan “abuse defense” oleh para terdakwa. Dalam artikel ini, kita akan membahas kasus Menendez Brothers dari perspektif psikologis, termasuk dinamika keluarga, gangguan psikologis yang mungkin dialami, dan implikasi hukumnya.</p><figure id="figure-9ekz174efm3v914mj"><img id="9ekz174efm3v914mj" src="https://cdn.durable.co/blocks/3403liKPI6g6KOdGYpIwIflLbJ0tF5gFbw4kJv0XrEO2LnJQuDtOs4aeQEAvHcP6.png" alt="" title="" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionx="undefined" data-positiony="undefined" data-fullwidth="false" data-mce-src="https://cdn.durable.co/blocks/3403liKPI6g6KOdGYpIwIflLbJ0tF5gFbw4kJv0XrEO2LnJQuDtOs4aeQEAvHcP6.png" data-mce-style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;"></figure><h2>Latar Belakang Kasus</h2><p>Pada malam pembuhunan, Lyle dan Erik Menendez melaporkan kepada polisi bahwa mereka menemukan orang tua mereka tewas ditembak di ruang tamu rumah mereka. Pada awalnya, penyelidikan diarahkan pada kemungkinan perampokan yang gagal. Namun, beberapa bulan kemudian, kedua saudara tersebut ditangkas atas dugaan sebagai pelaku pembunuhan. Selama proses investigasi, terungkap bahwa Lyle dan Erik Menendez telah menggunakan uang orang tua mereka secara boros setelah kematian orang tua mereka. Mereka membeli mobil mewah, pakaian mahal, dan perjalanan ekstravaganza. Selain itu, Erik juga menyewa seorang pelatih tenis profesional.</p><p>Pada saat persidangan, pembelaan yang diajukan oleh Lyle dan Erik Menendez adalah bahwa mereka membunuh orang tua mereka karena mengalami kekerasan fisik dan seksual yang berlangsung selama bertahun-tahun dari ayah mereka, dan ibu mereka diduga mengetahui dan membiarkan kekerasan itu terjadi. Para pengacara mereka berpendapat bahwa tindakan mereka adalah hasil dari rasa takut dan trauma yang mendalam, yang menyebabkan mereka merasa tidak ada jalan lain selain membunuh orang tua mereka untuk melindungi diri mereka sendri.</p><figure id="figure-nb3ifklnrm3v92gvo"><img id="nb3ifklnrm3v92gvo" src="https://cdn.durable.co/blocks/0yXK7cOQZHmVoTjMryBrSy8XSLW781bHCMIx2VNnJrrNaAfI8tvCNDf6laNQxWMD.png" alt="" title="" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionx="undefined" data-positiony="undefined" data-fullwidth="false" data-mce-src="https://cdn.durable.co/blocks/0yXK7cOQZHmVoTjMryBrSy8XSLW781bHCMIx2VNnJrrNaAfI8tvCNDf6laNQxWMD.png" data-mce-style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;"></figure><h2>Perspektif Psikologi: Trauma, PTSD, dan Abuse</h2><figure id="figure-kqvvjh524m3v93p21"><img id="kqvvjh524m3v93p21" src="https://cdn.durable.co/blocks/31eWCvhX3YaziUE87MOxcCFC4f1Vase5lQlaXpWpXJAqLcLAaxz3xNsx7MQQwjIC.png" alt="" title="" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionX="undefined" data-positionY="undefined" data-fullWidth="false"/></figure><h3>1. Trauma Masa Kecil dan PTSD</h3><p>Klaim yang diajukan oleh Lyle dan Erik Menendez terkait pelecehan yang dialami selama bertahun-tahun dari ayah mereka membawa perhatian pada dampak psikologis dari kekerasan domestik terhadap anak-anak. Jika benar, anak-anak yang mengalami pelecehan fisik, seksual, dan emosional dari figur orang tua cenderung mengembangkan gangguan psikologis seperti Post-Traumatic Stress Disorde {PTSD}. PTSD sering ditandai dengan kilas balik, mimpi buruk, kecemasan yang berlebihna, dan reaksi emosional yang intens.</p><p>Trauma yang tidak tertangani dapat menyebabkan perilaku implusif dan agresif sebagai mekanisme pertahanan diri. Dalam kasus Menenez Brother, mereka mengklaim bahwa tindakan mereka adalah respon dari rasa takut yang ekstrim terhadap ayah mereka, yang menunjukkan adanya gejala yang mungkin terkait dengan PTSD. Mereka menggambarkan keadaan mental yang terjebak dalam mode “fight or flight” yang ekstrim, di mana mereka merasa tidak memiliki pilihan lain untuk bertahan hidup kecuali dengan melakukan tindakan kekerasan.</p><h3>2. Pengaruh Kekerasan Emosional dan Hubungna Keluarga</h3><p>Salah satu aspek menarik dari kasus ini adalah keluarga yang dangat difungsional. Lyle dan Erik Menendez menggambarkan ayah mereka, José Menendez, sebagai sosok yang sangat otoriter, kasar, dan kontrol freak. José digambarkan sebagai orang tua yang menuntut kesempurnaan dari anak-anaknya dan menggunakan kekerasan sebagai alat disiplin. Sementara ibu mereka, Kitty Menendez, digambarkan sebagai ibu yang pasif, tidak berdaya, dan cenderung menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga mereka.</p><p>Dari perspektif psikologi keluarga, rumah tangga yang dipenuhi dengan kekerasan, manipulasi, dan kontrol berlebihan dapat merusak perkembangan psikologis anak. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan anak tumbuh dengan perasaan tidak aman, rendah diri, dan cenderung mengalami gangguan emosi dan perilaku.</p><h3>3. Stockholm Syndrome dan Coercive Control</h3><p>Salah satu argumen yang diajukan adalah bahwa Lyle dan Erik Menendez mungkin menderita Stockholm Syndrome, di mana korban kekerasan mengembangkan keterikatan emosional kepada pelaku sebagai mekanisme bertahan hidup. Dalam hal ini, mereka merasa terikat dengan ayah mereka meskipun ia adalah sumber ancaman. Selain itu, konsep coercive control dapat digunakan untuk memahami bagaimana kekuasaan dan kontrol ayah mereka mungkin menciptakan rasa takut yang konstan, sehingga menyebabkan mereka percaya bahwa satu-satunya jalan keluar adalah membunuh.</p><h2>Kritik Terhadap Pembelaan dan Analisis Forensik</h2><p>Meski pembelaan atas dasar pelecehan mendapatkan simpati dari beberapa pihak, jaksa penuntut dan banyak kritikus mempertanyakan kebenaran klaim kekerasan tersebut. Mereka menilai bahwa pembunuhan tersebut lebih terkait dengan motif keuangan, mengingat Lyle dan Erik Menederz segera menggunakan kekayaan orang tua mereka setelah pembunuhan. Terlebih lagi, para kritikus juga berargumen bahwa kedua saudar ini memiliki kepribadian antisosial yang memingkinkan mereka bertindak tanpa empati atau rasa bersalah, yang merupakan karakteristik dari gangguan kepribadian tertentu seperti Narcissistic Personality Disorder atau Antisocial Personality Disorder.</p><h2>Keputusan Hukum dan Kontroversi</h2><p>Setelah dua kali persidangan yang panjang, pada tahun 1996, Lyle dan Erik Menendez akhirnya dinyatakan bersalah atas pembunuhan tingkat pertama dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Keputusan ini menuai banyak kontroversi, terutama di kalangan masyarakat yang percaya bahwa kasus ii lebih kompleks daripada sekedar pembunuhan demi uang. Para pendukung Lyle dan Erik Menendez merasa bahwa hukuman mereka terlalu berat mengingat latar belakang mereka yang diduga mengalama pelecehan.</p><h2>Kesimpulan</h2><p>Kasus Menendez Brothers adalah contoh kompleksitas psikologis yang dapat terlibat dalam tindakan kriminal. Ketika trauma masa kecil, kekerasan, dan dinamika keluarga yang difungsional ikut bermain, batas antara korban dan pelaku dapat menjadi kabur. Meskipun pengadilan akhirnya memutuskan bahwa tindakan mereka adalah pembunuhan yang didorong oleh keserakahan, kasus ini tetap menjadi bahan studi bagi para psikolog, ahli hukum, dan masyarakat umum dalam memahami bagaimana trauma dan pelecehan dapat membentuk perilaku destruktif.</p><p>Dalam analisis psikologis, penting untuk mempertimbangkan semua faktor yang mempengaruhi perilaku manusia, terutama dalam kasus yang melibatkan kekerasan ekstrim. Meskipun tidak ada justifikasi untuk pembunuhan, pemahaman yang lebih dalam tentang psikologi di balik tindakan tersebut dapat membantu kita lebih memahami kompleksitas kondisi manusia dan mendorong sistem hukum yang lebih adil dan berempati.</p><p><br></p><p><br></p>

“Kasus Menendez Brother: Menyingkap Trauma dan Motif Psikologis di Balik Pembunuhan”

<p>Kekerasan adalah suatu fenomena yang mengganggu dan kompleks, merentang dari tindakan fisik hingga penghinaan psikologis. Fenomena ini dapat kita temukan di lingkungan internal maupun eksternal. Artikel ini akan menguraikan berbagai apek kekerasan, termasuk penyebabnya yang mendasar dampaknya, dampaknya yang merusak, serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini.</p><h3>Definisi dan Bentuk Kekerasan</h3><p>Kekerasan dapat dijelaskan sebagai penggunaan kekuatan atau kekerasan fisik, psikologis, atau struktural untuk menyakiti atau memaksa orang lain. Bentuk-bentuk kekerasan meliputi serangan fisik, pelecehan verbal, kekerasan seksual, serta ketidakadilan sosial atau diskriminasi.</p><h3>Penyebab Kekerasan</h3><p>Berbagai faktor dapat memicu kekerasan, termasuk kondisi ekonomi yang sulit, ketidaksetaraan sosial, ketegangan etnis atau agama, serta masalah individu seperti gangguan mental atau trauma masa lalu. Pentingnya untuk memahami akar permasalahan kekerasan untuk dapat mengambil langkah-langkah preventif yang efektif.</p><h3>Dampak Kekerasan</h3><p>Kekerasan memiliki dampak yang luas, tidak hanya pada korban langsung tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Korban sering kali mengalami trauma psikologis yang mendalam, serta dapat mengalami gangguan kesehatan mental jangka panjang. Selain itu, kekerasan juga memperburuk ketidaksetaraan sosial dan dapat menciptakan siklus kemiskinan dan kekerasan yang berkelanjutan.</p><h3>Upaya Penanggulangan</h3><p>Untuk mengatasi masalah kekerasan, diperlukan upaya terkoordinasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum. Upaya-upaya ini mencakup pendidikan masyarakat tentang pentingnya damai dalam penyelesaian konflik, implementasi kebijakan publik yang adil, perlindungan yang lebih baik bagi korban, serta rehabilitasi dan reintegrasi bagi pelaku kekerasan.</p><figure id="figure-mpvyg8gy1blzhizai5"><img id="mpvyg8gy1blzhizai5" src="https://images.unsplash.com/photo-1557089041-7fa93ffc2e08?crop=entropy&cs=tinysrgb&fit=max&fm=jpg&ixid=M3wyNjI5NjF8MHwxfHNlYXJjaHwxfHx2aW9sZW5jZXxlbnwwfHx8fDE3MjI4OTQzNzJ8MA&ixlib=rb-4.0.3&q=80&w=1080" alt="grayscale photo of people near smoke" title="grayscale photo of people near smoke" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionX="undefined" data-positionY="undefined" data-fullWidth="false"/></figure><p>Kekerasan adalah masalah serius yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan manusia. Dengan memahami akar permasalahan, bekerja sama untuk mencari solusi, dan memperkuat pendidikan serta kesadaran masyarakat, kita dapat berharap untuk mengurangi dan akhirnya menghapus kekerasan dari masyarakat kita. Hanya dengan kerja sama yang kuat dan komitmen</p><p>bersama, kita dapat menciptakan dunia yang lebih aman dan berkeadilan untuk semua.</p>

KEKERASAN: Memahami Akar Masalah dan Mencari Solusi Bersama

<figure id="figure-0ne0mgxdc9lzhij4s7"><img id="0ne0mgxdc9lzhij4s7" src="https://images.unsplash.com/photo-1627281220920-4f42df3f5e8b?crop=entropy&cs=tinysrgb&fit=max&fm=jpg&ixid=M3wyNjI5NjF8MHwxfHNlYXJjaHw0Nnx8ZW1vdGlvbnN8ZW58MHx8fHwxNzEwODkzODI4fDA&ixlib=rb-4.0.3&q=80&w=1080" alt="woman in white hijab taking selfie" title="woman in white hijab taking selfie" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionX="undefined" data-positionY="undefined" data-fullWidth="false"/></figure><p>Seperti yang kita ketahui media sosial adalah platform daring tempat orang bisa berinteraksi, berbagi konten, dan terhubung dengan orang lain secara global. Berbagai platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok memungkinkan pengguna untuk mengirim pesan, membagikan foto dan video, serta menjelajahi informasi dalam waktu nyata. Melalui media sosial, orang dapat memperluas jaringan sosial, mendukung kampanye sosial, menciptakan konten kreatif, dan bahkan memengaruhi opini publik. Namun, penting untuk menggunakan media sosial secara bertanggung jawab, memfilter konten yang dilihat, dan menghormati privasi serta keamanan online.&nbsp;</p><p>Peran media sosial salah satunya yaitu dalam membentuk standar kecantikan yang tidak realistis dan telah menjadi topik yang semakin relevan dalam era digital ini. Media sosial memiliki potensi besar untuk membentuk standar kecantikan yang lebih realistis dengan mendukung keberagaman tubuh, warna kulit, fitur wajah, dan ukuran. Hal ini dapat membahas bagaimana platform media sosial memperkuat citra tubuh yang sempurna melalui filter dan retus, dampak perbandingan sosial terhadap harga diri individu, serta konsekuensi psikologis dari tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak dapat dicapai secara realistis.</p><p>Media sosial juga sering kali memperkuat standar kecantikan yang tidak realistis dengan menampilkan gambar-gambar yang diubah secara digital dan menyaring konten-konten yang hanya menampilkan tubuh-tubuh "ideal". Hal ini dapat menciptakan tekanan psikologis pada seseorang untuk mencapai standar kecantikan yang tidak mungkin dicapai secara alami. Paparan berulang terhadap gambar-gambar yang dimanipulasi dapat merusak citra tubuh seseorang, memicu body dissatisfaction, menimbulkan rasa tidak percaya diri, dan bahkan berpotensi menyebabkan gangguan makan atau masalah kesehatan mental lainnya.</p><p>Penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa kecantikan sejati datang dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna. Mengakui keunikan setiap individu dan menghargai keberagaman adalah kunci untuk menghadapi tekanan sosial terkait penampilan. Penting juga untuk membatasi paparan terhadap konten-konten yang merusak citra tubuh dan untuk selalu mengingatkan diri sendiri bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh penampilan fisik. cara untuk mengurangi dampak negatif dari kecantikan yang tidak realistis di media sosial yaitu dengan cara membatasi penggunaan smartphone, ikuti akun body positive, mempraktikkan Self-Love, dan berhenti mengikuti akun yang memicu kecantikan yang tidak realistis tersebut.</p><p>Jangan lupa, nilai Anda tidak ditentukan oleh jumlah likes, filter, atau perbandingan. Peluklah keunikan Anda dan utamakan kesehatan mental Anda di atas standar kecantikan yang tidak realistis di media sosial. Karena kita semua berhak merasa cantik dan berharga tanpa harus membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis.</p>

Pentingnya Menahan Membandingkan Diri dengan Standar Kecantikan yang Tidak Realistis di Media Sosial

<p>Kelompok termuda &nbsp;saat ini, Generasi Z, lahir dan besar di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Ia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Selain itu, generasi ini juga dikenal &nbsp;fleksibel, praktis, dan melek teknologi. Dengan karakteristik tersebut, Gen Z memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai &nbsp;pelarian dari penatnya kehidupan realita dan sebagai wadah untuk menggalang dana. Media sosial merupakan platform hiburan dan pembaruan kehidupan, serta tempat memperoleh informasi.</p><p>Di Indonesia, penggunaan media sosial sangat tinggi di kalangan generasi ini, dengan platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter yang mendominasi. Media sosial mempunyai banyak manfaat antara lain, kontak sosial dan akses informasi. Namun, di balik kemudahan berinteraksi dan berbagi informasi, media sosial juga membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kesehatan mental generasi Z, salah satunya adalah meningkatnya kasus kecemasan sosial.&nbsp;</p><p>Kecemasan sosial adalah kondisi di mana seseorang merasa sangat takut atau cemas dalam situasi sosial. Mereka khawatir akan dinilai negatif oleh orang lain, sehingga menghindari interaksi sosial atau mengalami kecemasan yang intens saat harus berinteraksi.&nbsp;</p><figure id="figure-ucca4j7wcelzhiahm0"><img id="ucca4j7wcelzhiahm0" src="https://images.unsplash.com/photo-1597068504146-60241bb6afef?crop=entropy&cs=tinysrgb&fit=max&fm=jpg&ixid=M3wyNjI5NjF8MHwxfHNlYXJjaHwzMDl8fFBvb2x8ZW58MHx8fHwxNzEwNDYxOTc0fDA&ixlib=rb-4.0.3&q=80&w=1080" alt="black framed eyeglasses on brown wooden table" title="black framed eyeglasses on brown wooden table" class="object-cover bg-gray-100 " style="aspect-ratio: 16/9; object-position: center center;" data-corners="default" data-aspect="16:9" data-caption="" data-positionX="undefined" data-positionY="undefined" data-fullWidth="false"/></figure><h3>Dampak Kecemasan Sosial pada Generasi Z, yaitu sebagai berikut:</h3><p><strong>1. Kesulitan Berhubungan</strong>: Kecemasan sosial dapat menghambat kemampuan generasi Z untuk membangun hubungan yang sehat dan bermakna.</p><p><strong>2. Penurunan Kualitas Hidup</strong>: Kecemasan yang terus-menerus dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, prestasi akademik, dan bahkan karier.</p><p><strong>3. Risiko Depresi</strong>: Kecemasan sosial seringkali beriringan dengan gangguan mental lainnya, seperti depresi.</p><h3>Mencegah dan Mengatasi Kecemasan Sosial:</h3><p><strong>1. Meningkatkan Kesadaran</strong>: Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental.&nbsp;</p><p><strong>2. Membatasi Penggunaan Media Sosial</strong>: Mengatur waktu penggunaan media sosial dan menghindari perbandingan diri dengan orang lain dapat membantu mengurangi kecemasan.</p><p><strong>3. Membangun Keterampilan Sosial:</strong> Mengikuti kegiatan sosial dan berlatih keterampilan komunikasi dapat membantu mengatasi kecemasan sosial.</p><p><strong>4. Mencari Bantuan Profesional</strong>: Jika kecemasan sosial sudah sangat mengganggu, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.</p><p>Generasi ini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berselancar dan bermain game di media sosial, yang tanpa disadari menimbulkan banyak dampak psikologis negatif.&nbsp;</p><p>Sebuah penelitian yang dipublikasikan di JAMA Psychiatry menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam sehari berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental, terutama masalah internalisasi, yang juga dikenal sebagai citra diri. Pengguna media sosial dari berbagai negara mempunyai kebebasan berekspresi dan mengunggah keinginannya. Tak jarang beberapa kesuksesan yang mereka raih menjadi bagian dari konten media sosialnya.&nbsp;</p><p>Berdasarkan penelitian (2021) yang menyasar remaja berusia 16 hingga 24 tahun oleh Tim Psikiatri Anak dan Remaja Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia. Saat menghadapi masalah pada usia ini, sebanyak 95,4% melaporkan mengalami gejala kecemasan dan 88% melaporkan mengalami gejala depresi. Selain itu, 96,4% dari seluruh responden mengatakan mereka tidak tahu cara mengatasi stres karena masalah umum yang mereka hadapi.&nbsp;</p><p>Secara historis, banyak Gen Z yang menganjurkan kesehatan mental di media sosial, namun sering mengabaikan kesehatan mental mereka sendiri. Selain itu, masalah kesehatan mental masih dianggap tabu karena adanya stigma sosial, dan tanpa disadari orang tua bisa saja acuh terhadap perasaan anaknya.</p><p>Media sosial memang telah membawa banyak manfaat, tetapi kita juga perlu menyadari dampak negatifnya terhadap kesehatan mental, terutama pada generasi Z. Dengan memahami hubungan antara media sosial dan kecemasan sosial, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kualitas hidup. Penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental generasi muda.&nbsp;</p>

KBBI PSIKOLOGI UNKHAIR

Artikel

TERNYATA STRES TIDAK SELALU MERUPAKAN HAL YANG NEGATIF LOH!

QUARTER LIFE CRISIS: Mengubah Kebingungan Menjadi Peluang

“Kasus Menendez Brother: Menyingkap Trauma dan Motif Psik...

KEKERASAN: Memahami Akar Masalah dan Mencari Solusi Bersama

Pentingnya Menahan Membandingkan Diri dengan Standar Keca...

"Generasi Z dan Kecemasan Sosial: Dampak Media Sosial yan...